Setelah belajar World Systems Theory (WST) di kelas International Political Economy dan lihat contoh kayak value chain kopi, aku jadi sadar bahwa hidup itu nggak sesimpel usaha pribadi = sukses. Walaupun WST membahas negara sebagai aktor-aktor utamanya, aku menggunakan kesempatan ini untuk berefleksi ke kehidupan secara umum. Ada struktur besar yang bikin sebagian orang kerja keras setengah mati tapi tetap di posisi bawah. Apalagi di Indonesia, yang kita tahu mobilitas sosialnya masih rendah. Kalau seseorang lahir dalam kelompok sosio-ekonomi tertentu, jalan buat "naik kelas" itu sempit dan berat. Dari situ, aku mulai berhenti ngelihat orang cuma dari titel, gaji, atau pencapaian luar. Aku lebih penasaran sama cerita di baliknya: perjuangan apa yang lagi mereka jalanin? Apa aja tembok yang mereka harus hadapi, yang mungkin nggak pernah kelihatan dari luar? Karena kadang, kita semua cuma lagi di tengah sistem yang bahkan kita sendiri nggak pilih buat lahir di dalamnya. Kesimpulan: 🌱 Kita bukan hanya hasil dari keputusan pribadi. 🌎 Kita juga bagian dari struktur yang lebih besar, yang nggak selalu adil. Kalau kamu pernah merasa capek "mengejar" sesuatu, mungkin bukan karena kamu kurang kuat. Tapi karena jalannya dibuat miring. 🌳 The Multiidentitas Life — cerita lengkapnya ada di YouTube.
Tim sepak bola, partai politik, selera musik, agama, tokoh-tokoh sejarah–semua yang punya pendirian dan pengaruh kuat pasti SELALU punya oposisi. SELALU ada penolakan. “If you're remarkable, it's likely that some people won't like you. That's part of the definition of remarkable. Nobody gets unanimous praise, ever. The best the timid can hope for is to be unnoticed. Criticism comes to those who stand out.” — Seth Godin 🌳 The Multiidentitas Life
Setelah belajar World Systems Theory (WST) dan lihat contoh kayak value chain kopi, aku jadi sadar bahwa hidup itu nggak sesimpel usaha pribadi = sukses. Walaupun WST membahas negara sebagai aktor-aktor utamanya, aku menggunakan kesempatan ini untuk berefleksi ke kehidupan secara umum. Ada struktur besar yang bikin sebagian orang kerja keras setengah mati tapi tetap di posisi bawah. Apalagi di Indonesia yang kita tau mobilitas sosialnya masih rendah dan jika seseorang terlahir dalam satu kelompok sosio-ekonomi, sangat sulit untuk bisa mendobrak ke atas dan “naik kelas”. Dari situ, aku mulai berhenti ngelihat orang cuma dari titel, gaji, atau pencapaian luar. Aku lebih penasaran sama cerita di baliknya: perjuangan apa yang lagi mereka jalanin? Kadang, kita semua cuma lagi bertahan ngelawan sistem yang kita sendiri nggak pilih lahir di dalamnya. 🌳 The Multiidentitas Life — cerita selengkapnya ada di YouTube.
dulu easy run gw pace 8 sekarang udah pace 5. modal lari keong ngikutin MAF low heart rate training. temen2 gw yang dulu langsung kebut2an tiap latihan kalo ga berhenti karena burnout ya cedera. gue ga pengen makin banyak temen lagi yang stop lari karena itu ❤️🩹 #lari
Replying to @ディヤアユ Akses ke universitas top di Indonesia bukan cuma soal pintar atau kerja keras, tapi juga ditentukan oleh privilege. Sekolah yang lebih bagus, bimbel persiapan ujian, relasi orang tua, domisili di kota besar... Semua ini diam-diam menentukan siapa yang punya peluang lebih besar untuk diterima. Jadi saat perusahaan bilang “hanya menerima lulusan 10 kampus terbaik,” mereka bukan cuma seleksi berdasarkan kemampuan. Mereka menyaring berdasarkan siapa yang dari awal sudah punya akses ke peluang. Kalau standar kayak gini terus dinormalisasi, ribuan anak berbakat dari latar belakang biasa akan kehilangan kesempatan untuk naik kelas sosial. Meritokrasi harusnya didapat, bukan diwarisi.
Konsep “Anti-library” diperkenalkan oleh Nassim Taleb di bukunya The Black Swan. Ia terinspirasi oleh seorang penulis bernama Umberto Eco yang memiliki puluhan ribu di rumahnya yang sebagian besar belum ia baca. Baginya, anti-library bukan simbol kemalasan, melainkan cerminan kerendahan hati seorang intelek dan juga simbol rasa ingin tahu yang tinggi. Ia berpendapat bahwa memiliki anti-library mendorong kita untuk terus belajar, menurunkan ego, dan menjaga semangat eksplorasi tetap hidup. Anti-library juga bisa berperan sebagai penguat identitas yang ingin kita bangun, selama kita mengkurasi pilihan buku dengan baik dan penuh perhatian. 🌳 The Multiidentitas Life
Replying to @⚖️ Akses ke universitas top di Indonesia bukan cuma soal pintar atau kerja keras, tapi juga ditentukan oleh privilege. Sekolah yang lebih bagus, bimbel persiapan ujian, relasi orang tua, domisili di kota besar... Semua ini diam-diam menentukan siapa yang punya peluang lebih besar untuk diterima. Jadi saat perusahaan bilang “hanya menerima lulusan 10 kampus terbaik,” mereka bukan cuma seleksi berdasarkan kemampuan. Mereka menyaring berdasarkan siapa yang dari awal sudah punya akses ke peluang. Kalau standar kayak gini terus dinormalisasi, ribuan anak berbakat dari latar belakang biasa akan kehilangan kesempatan untuk naik kelas sosial. Meritokrasi harusnya didapat, bukan diwarisi.